Kurangnya Penyelenggaraan Ruang Terbuka Hijau di Perkotaan
Ruang terbuka hijau merupakan bagian dari ruang terbuka
publik. Dimana ruang terbuka publik dibagi menjadi dua yaitu ruang terbuka
hijau dan ruang terbuka non-hijau. Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota adalah bagian
dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh
tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat
langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut
yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan
tersebut(IPB, 2011). Selain berakibat positif bagi masyarakat, ruang
terbuka hijau juga bermanfaat bagi lingkungan, contohnya adalah meningkatkan
kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara, dan masih banyak yang
lainnya.
Pada kawasan perkotaan di Indonesia, rata-rata memiliki
ruang terbuka hijau kurang dari 10 %, padahal ketentuan UU. No 26 tahun 2007
tentang penataan ruang (UUPR) yang mewajibkan pengelola perkotaan menyediakan
ruang terbuka hijau publik sebesar 20 % dari luas kota tersebut(Farisanto, 2012). Masalah yang dihadapi
pemerintah dalam tuntutan UUPR tersebut adalah karena ruang terbuka hijau dianggap
memiliki nilai ekonomis yang rendah sehingga menghambat perkembangan kota
tersebut. Ketika kota tersebut tidak mencukupi dalam penyelenggaraan ruang
terbuka hijau, maka kota tersebut dapat mengalami beberapa masalah, diantaranya
menurunkan kenyamanan kota tersebut, menurunkan keindahan alami kota dan
artifak alami sejarah yang bernilai kultural tinggi, dan lain sebagainya(IPB, 2011).
Penghambat penyelenggaraan ruang terbuka hijau terdapat
beberapa, diantaranya yang pertama, lemahnya lembaga pengelola ruang terbuka
hijau. Ditandai dengan aturan hukum yang belum jelas, belum optimalnya
penegakan aturan main pengelolaan ruang terbuka hijau, belum jelasnya bentuk
kelembagaan pengelola ruang terbuka hijau, dan belum terdapatnya tata kerja
pengelolaan ruang terbuka hijau(IPB, 2011).
Kedua, lemahnya peran stake
holder. Hal itu ditunjukkan lemahnya persepsi masyarakat. Ditambah dengan
lemahnya pegertian masyarakat dan pemerintah tentang manfaat ruang terbuka
hijau(IPB, 2011). Hal tersebut menyebabkan kurangnya pemanfaatan
lahan terbuka sebagai ruang terbuka hijau.
Agar penyelenggaraan ruang terbuka hijau tidak semakin
berkurang, dibutuhkan langkah nyata untuk menanggulanginya. Yang pertama
dengan memperbaiki lembaga yang
bertanggung jawab tentang ruang terbuka publik dengan cara memperjelas dan
mempertegas aturan hukum tentang UUPR (Undang-undag Penataan Ruang), setelah
dibuat kemudian aturan tersebut harus dapat ditegakkan oleh lembaga pengelola
ruang terbuka hijau. Lalu pembenahan tentang keterlibatan peran stakeholder yang ikut menjaga dan
melestarikan ruang terbuka hijau dengan cara sosialisasi tentang pemahaman
pentingnya ruang terbuka hijau bagi masyarakat dan lingkungan. Dengan semua itu
diharapkan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan terutama kota besar di
Indonesia dapat memenuhi UU no.26 tahun 2007 tentang UUPR yaitu ruang terbuka
hijau 20% dari wilayah kota tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar