Jumat, 12 Juni 2015



Kurangnya Penyelenggaraan Ruang Terbuka Hijau di Perkotaan

Ruang terbuka hijau merupakan bagian dari ruang terbuka publik. Dimana ruang terbuka publik dibagi menjadi dua yaitu ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau. Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut(IPB, 2011). Selain berakibat positif bagi masyarakat, ruang terbuka hijau juga bermanfaat bagi lingkungan, contohnya adalah meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara, dan masih banyak yang lainnya.
Pada kawasan perkotaan di Indonesia, rata-rata memiliki ruang terbuka hijau kurang dari 10 %, padahal ketentuan UU. No 26 tahun 2007 tentang penataan ruang (UUPR) yang mewajibkan pengelola perkotaan menyediakan ruang terbuka hijau publik sebesar 20 % dari luas kota tersebut(Farisanto, 2012). Masalah yang dihadapi pemerintah dalam tuntutan UUPR tersebut adalah karena ruang terbuka hijau dianggap memiliki nilai ekonomis yang rendah sehingga menghambat perkembangan kota tersebut. Ketika kota tersebut tidak mencukupi dalam penyelenggaraan ruang terbuka hijau, maka kota tersebut dapat mengalami beberapa masalah, diantaranya menurunkan kenyamanan kota tersebut, menurunkan keindahan alami kota dan artifak alami sejarah yang bernilai kultural tinggi, dan lain sebagainya(IPB, 2011).
Penghambat penyelenggaraan ruang terbuka hijau terdapat beberapa, diantaranya yang pertama, lemahnya lembaga pengelola ruang terbuka hijau. Ditandai dengan aturan hukum yang belum jelas, belum optimalnya penegakan aturan main pengelolaan ruang terbuka hijau, belum jelasnya bentuk kelembagaan pengelola ruang terbuka hijau, dan belum terdapatnya tata kerja pengelolaan ruang terbuka hijau(IPB, 2011).
Kedua, lemahnya peran stake holder. Hal itu ditunjukkan lemahnya persepsi masyarakat. Ditambah dengan lemahnya pegertian masyarakat dan pemerintah tentang manfaat ruang terbuka hijau(IPB, 2011). Hal tersebut menyebabkan kurangnya pemanfaatan lahan terbuka sebagai ruang terbuka hijau.
Agar penyelenggaraan ruang terbuka hijau tidak semakin berkurang, dibutuhkan langkah nyata untuk menanggulanginya. Yang pertama dengan  memperbaiki lembaga yang bertanggung jawab tentang ruang terbuka publik dengan cara memperjelas dan mempertegas aturan hukum tentang UUPR (Undang-undag Penataan Ruang), setelah dibuat kemudian aturan tersebut harus dapat ditegakkan oleh lembaga pengelola ruang terbuka hijau. Lalu pembenahan tentang keterlibatan peran stakeholder yang ikut menjaga dan melestarikan ruang terbuka hijau dengan cara sosialisasi tentang pemahaman pentingnya ruang terbuka hijau bagi masyarakat dan lingkungan. Dengan semua itu diharapkan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan terutama kota besar di Indonesia dapat memenuhi UU no.26 tahun 2007 tentang UUPR yaitu ruang terbuka hijau 20% dari wilayah kota tersebut.
























DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar