Minggu, 14 Juni 2015
Jumat, 12 Juni 2015
PERMASALAHAN BRT SEMARANG
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Kelayakan
halte-halte di Indonesia dibandigkan negara maju seperti Jerman sangatlah
jauh.Di jerman calon penumpang sangat diperhatikan, halte dilengkapi dengan
toilet, buku bacaan, AC dan terdapat petugas halte yang mengamankan halte.
Sedangkan di Indonesia warganya lebih memilih untuk memberhentikan kendaraan
umum di sebarang tempat. Salah satu penebabnyanya adalah halte yang tersedia
tidak layak bagi calon penumpang.
Halte merupakan
suatu bentuk dari terminal
dalam skala kecil, yang juga merupakan
tempat atau ruang yang disediakan bagi angkutan umum untuk mengangkut atau
menurunkan penumpang dengan bangunan (Husain,1985). Menurut Vuchic,1981 halte
berfungsi menaikkan dan menurunkan penumpang yang memiliki tanda dan informasi mengenai pelayanan. Menurut
hasil penelitian James
Paul, 2002 menyatakan bahwa dalam
memberhentikan atau menaikkan
penumpang dari dan/atau ke bus kota harus di tempat halte resmi,
ditegaskan dengan Peraturan Pemerintah
RI no 41 th 1993 menyebutkan
bahwa angkutan umum kota harus melalui
tempat-tempat yang telah ditetapkan untuk naik turunnya penumpang, yaitu halte.
Halte
sebagai tempat pemberhetian kendaraan umum, sebaiknya memiliki
fasilitas-fasiltas yang membuat calon penumpang merasa aman dan nyaman.
Fasilitas tersebut berupa kondisi fisik bangunan yang indah dan bersih
dilengkapi dengan kursi tunggu yang nyaman dan terdapat petugas halte. Dalam
makalah ini halte BRT Semarang, memiliki masalah-masalah dengan kenyamanan dan
keamanan halte berupa banyaknya pedagang kaki lima atau PKL, petugas halte hanya
ada di beberapa halte, posisi halte yang tidak sesuai, dan bangunan halte yang
kurang terawat. Masalah-masalah tersebut yang akan diulas pada makalah ini
yaitu tentang “Permasalahan Halte BRT Semarang”.
1.2
Rumusan
Masalah
Rumusan
masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Masalah
apa saja yang terjadi pada halte BRT Semarang?
2. Bagaimana
solusi dari permasalahan halte BRT
Semarang?
1.3
Tujuan
Penulisan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Menjelaskan
masalah yang terjadi pada halte BRT Semarang.
2. Menjelaskan
solusi dari permasalahan halte BRT Semarang.
BAB
2
PEMBAHASAN
2.1
Banyaknya
PKL di Halte BRT Semarang
Kurangnya
pengawasan dari pemerintah Kota Semarang menyebabkan PKL tersebar di kawasan
sekitar halte.Pada beberapa halte PKL berjualan hingga masuk ke dalam halte.
Halte BRT Semarang yang kurang pengawasan dianggap peluang bagi PKL untuk
menjajakan dagangannya dikarenakan halte dianggap merupakan tempat yang
strategis dalam berjualan.
Selain
itu, bagi calon penumpang yang sedang lapar maupun haus tidak dapat membeli
makanan atau minuman apabila tidak ada PKL yang berjualan disekitar halte. Hal
ini secara tidak langsumg seperti simbolisis mutualisme yang saling
menguntungkan antara pedagang dan pembeli dalam kasus ini pembeli adalah calon
penumpang BRT Semarang. Pedagang mendapatkan penghasilan dan pembeli tidak
lapar ataupun mengalami kehausan.
Namun,
hal tersebut mengganggu ketika bus BRT Semarang akan berhenti di halte.
Seringkali PKL menutupi jalur pemberhentian sehingga bus BRT Semarang mengalami
kesulitan ketika akan berhenti pada halte. Terdapatnya PKL di sekitar halte
juga memberi kesan yang kurang baik terhadap halte karena PKL berjualan di
sembarang tempat menyebabkan halte terkesan semrawud dan padat.


Sumber : Koran SINDO
Gambar1:
PKL berada pada kawasan halte BRT Semarang
2.2
Petugas
di Halte BRT Semarang Hanya Ada di Beberapa Halte
Di
negara maju seperti Jerman, pada setiap halte ada petugas yang menjaga.
Fungsinya sebagai pihak keamanan, penunjuk rute, pelayanan pelanggan, dan
tempat pembelian tiket. Pada BRT Semarang peran petugas halte sangat minim,
hanya sebagai penunjuk rute. Selain sangat sedikit perannya, petugas halte
tersebut hanya ada di beberapa halte saja. Hal ini dikarenakan tidak kuatnya
anggaran pemerintah Kota Semarang untuk menambah petugas halte pada halte BRT
Semarang. Petugas halte BRT Semarang juga lebih dimaksimalkan lagi perannya
apabila tidak memungkinkan untuk menambah petugas halte.
Dengan
adanya petugas halte juga mengurangi tindak kriminal dan pelecehan seksual di
halte BRT Semarang. Pelecehan seksual sempat terjadi didalam BRT Semarang
koridor 2 Terboyo-Selimut. Hal tersebut dapat terjadi akibat tingkat keamanan
yang lemah dan dapat menjadi pelajaran agar pemerintah meningkatkan keamanan
dengan menambah petugas, bukan hanya didalam bus, namun di halte BRT Semarang
juga perlu diberi petugas untuk mencegah hal seperti itu terjadi kembali.

Sumber: www.skyscrapercity.com
Gambar
2 : Tidak Terdapat Petugas Halte BRT Semarang
2.3
Bangunan
Halte BRT Semarang Kurang Terawat
Bangunan
halte pada halte-halte BRT Semarang kebanyakan mengalami kerusakan. Halte
paling parah adalah halte Gedawang di kawasan Jalan Perintis Kemerdekaan dimana
kondisi bangunan yang hampir roboh. Pada halte tersebut tiang penyangga atap
melengkung dan besi-besinya berkarat serta banyak coret-coretan yang menambah
halte terkesan kumuh dan jelek. Bahkan sebagian
armada BRT Semarang tidak menurunkan penumpang di halte tersebut.
Kondisi memprihatinkan tersebut jelas disebabkan oleh kurangnya pemeliharaan
oleh instansi pemerintah terkait.
Selain
peran pemeliharaan dan pengawasan oleh instansi pemerintah terkait, kondisi
halte yang kurang terawat dipengaruhi pula oleh masyarakat terutama pelajar dan
pemuda yang gemar mengotori halte BRT Semarang dengan mencoret-coret dinding
halte dan memcahkan kaca halte. Dalam perawatan halte ini semua pihak ikut
dalam perannya masing-masing. Dimana instansi pemerintah terkait berperan memelihara
perawatan halte dan melakukan pengawasan terhadap halte BRT Semarang supaya
tidak ada masyarakat yang merusak halte tersebut dan peran masyarakat adalah
menjaga halte yang sudah dibangun oleh instansi pemerintah untuk tidak dirusak
dan mengingatkan terhadap sesama masyarakat untuk tidak merusak fasilitas umum
termasuk halte BRT Semarang.

Sumber : www.tribunnews.jateng.com
Gambar
3 : Kondisi Halte Gedawang BRT Semarang
2.4
Penempatan
Halte BRT Semarang Beberapa Tidak Sesuai
Kriteria
penempatan halte yang ideal yaitu, halte berada pada wilayah padat penduduk,
halte berada pada wilayah yang dekat dengan pusat kegiatan masyarakat, halte
berada pada wilayah padat pemukiman, halte berada pada wilayah dengan tingkat
kepemilikan kendaraan pribadi yang tinggi, halte berada pada wilayah yang
memiliki kondisi sosial, budaya, dan ekonomi yang sesuai dengan target penggunanya (Wardana,2012) . Dalam penempatan halte BRT Semarang hal
tersebut belum terlihat. Dimana ada 36 halte yang tidak efektif dan 33 halte
yang penempatannya efektif (Rahardjo,Noorhadi.2013) atau kurang dari 50 % halte
yang penempatannya efektif.

Sumber : Rahardjo, Noorhadi.2013.Sistem Informasi Geografi Untuk Evaluasi
Lokasi Shelter
Bus Trans Semarang
Gambar 4 : Denah Lokasi Halte
BRT Semarang
2.5
Solusi
Permasalahan Halte BRT Semarang
Untuk
mengatasi beberapa masalah yang telah dijelaskan, ada beberapa solusi. Untuk
masalah PKL yang berjualan di kawasan halte, pihak pengelola BRT Semarang dapat
memasang himbauan berupa larangan PKL berjualan disekitar halte BRT
Semarang.Pihak pengelola halte BRT Semarang juga melakukan pengawasan dan
penertiban terhadap PKL tersebut. Untuk mengatasi calon penumpang yang lapar
dan haus dapat dibangun kios kecil di dekat halte BRT Semarang, selain memberi
keuntungan bagi calon penumpang juga dapat menambah pemasukan pemerintah.
Untuk
petugas halte yang hanya ada di beberapa halte, dapat diatasi dengan menambah
petugas jaga halte. Namun, bisa dengan cara lain yaitu menaruh CCTV pada setiap
halte agar calon penumpang merasa aman. Untuk melayani informasi yang
diperlukan dapat dengan menempelkan jadwal keberangkatan dan kedatangan BRT
serta rute yang ditempuh di papan informasi, ditambah dengan memberikan nomor customer servise apabila masih ada yang
perlu ditanyakan.
Dalam
masalah halte bus yang kurang terawat solusinya dapat dilakukan renovasi dan
pengecatan ulang dengan bahan yang lebih bagus dan awet. Kemudian pemerintah
membuat sanksi tegas bagi warga yang merusak halte BRT Semarang tersebut.
Dilanjutkan dengan memberi penyuluan agar warga Kota Semarang terutama pengguna
jasa transportasi umum tersebut juga ikut menjaga dikarenakan halte merupakan
fasilitas umum yang diperlukan kerjasama antara pihak pemerintah dengan
masyarakat untuk memelihara dan menjaganya.
Penempatan
halte yang tidak sesuai dapat dipecahkkan dengan evaluasi dari pihak pemerintah
sebelum membangun halte. Hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain penggunaan
lahan karena memengaruhi potensi tarikan dan bangkitan penumpang, pembuatan kuisoner
agar lebih tahu kebiasaan perjalanan penumpang. Lebih baik lagi jika mempunyai
data origin dan destination (data OD/MAT) untuk lebih mantap dalam melakukan
evaluasi.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari
pembhasan dalam makalah ini dapat disimpulkan :
1. Halte
BRT Semarang, memiliki masalah-masalah dengan kenyamanan dan keamanan halte
berupa banyaknya pedagang kaki lima atau PKL, petugas halte hanya ada di
beberapa halte, posisi halte yang tidak sesuai, dan bangunan halte yang kurang
terawat.
2. Pengelola
BRT Semarang dapat memasang himbauan berupa larangan PKL berjualan disekitar
halte BRT Semarang.Pihak pengelola halte BRT Semarang juga melakukan pengawasan
dan penertiban terhadap PKL tersebut. Untuk mengatasi calon penumpang yang
lapar dan haus dapat dibangun kios kecil di dekat halte BRT Semarang, selain
memberi keuntungan bagi calon penumpang juga dapat menambah pemasukan pemerintah.
3. Petugas
halte yang masih kurang dapat diatasi dengan menambah petugas jaga halte.
Namun, bisa dengan cara lain yaitu menaruh CCTV pada setiap halte agar calon
penumpang merasa aman. Untuk melayani informasi yang diperlukan dapat dengan
menempelkan jadwal keberangkatan dan kedatangan BRT serta rute yang ditempuh di
papan informasi, ditambah dengan memberikan nomor customer servise.
4. Halte
bus yang kurang terawat solusinya dapat dilakukan renovasi dan pengecatan ulang
dengan bahan yang lebih bagus dan awet. Kemudian pemerintah membuat sanksi
tegas bagi warga yang merusak halte BRT Semarang tersebut. Dilanjutkan dengan
memberi penyuluan agar warga Kota Semarang terutama pengguna jasa transportasi
umum tersebut juga ikut menjaga dikarenakan halte merupakan fasilitas umum yang
diperlukan kerjasama antara pihak pemerintah dengan masyarakat untuk memelihara
dan menjaganya.
5. Penempatan
halte yang tidak sesuai dapat dipecahkkan dengan evaluasi dari pihak pemerintah
sebelum membangun halte. Hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain penggunaan
lahan karena memengaruhi potensi tarikan dan bangkitan penumpang, pembuatan
kuisoner agar lebih tahu kebiasaan perjalanan penumpang.
3.2 Saran
Saran
berkaitan permasalahan halte BRT Semarang adalah sebagai berikut :
1. Pemerintah
sebaiknya memberi sanksi tegas terhadap pelaku yang merusak fasilitas halte BRT
Semarang.
2. Pemerintah
sebaiknya dapat meningkatkan tingkat keamananan dan kenyamanan berkaitan
tentang halte BRT Semarang agar daya tarik penumpang menggunakan moda
transportasi umum BRT Semarang meningkat.
3. Pemerintah
sebaiknya membuat informasi rute dan jadwal keberangkatan dan kedatangan bus
serta nomor customer service disetiap
halte BRT Semarang.
DAFTAR
PUSTAKA
Purnomo,
Daniel Ari.2014.Halte BRT di Gedawang
Nyaris Roboh dalam www.tribunnews.jateng.com. Diunduh pada tanggal 24 Mei
2015.
Purnomo,
Daniel Ari.2015.Penumpang BRT Histeris
Lihat Cairan SpermaNempel di Kaus Wanita Itu dalam
www.tribunnews.jateng.com.Diunduh pada tanggal 24 Mei 2015.
Wardana, Sindhung. 2012. Analisis
Sebaran Shelter Trans Semarang Untuk Pengembangan Moda Transportasi Bus Rapid
Transit (BRT) Di Kota Semarang (Studi Kasus Trans Semarang Koridor I).Semarang:Jurusan
Geografi FIS UNNES.
Tamin, Ofyar Z. 1997. Perencanaan dan Pemodelan Transportasi.
Bandung:Institut Teknologi Bandung.
Rahardjo,Noorhadi.2013. Sistem Informasi Geografi Untuk Evaluasi Lokasi
Shelter Bus Trans Semarang.Yogyakarta:UGM
Kurangnya Penyelenggaraan Ruang Terbuka Hijau di Perkotaan
Ruang terbuka hijau merupakan bagian dari ruang terbuka
publik. Dimana ruang terbuka publik dibagi menjadi dua yaitu ruang terbuka
hijau dan ruang terbuka non-hijau. Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota adalah bagian
dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh
tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat
langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut
yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan
tersebut(IPB, 2011). Selain berakibat positif bagi masyarakat, ruang
terbuka hijau juga bermanfaat bagi lingkungan, contohnya adalah meningkatkan
kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara, dan masih banyak yang
lainnya.
Pada kawasan perkotaan di Indonesia, rata-rata memiliki
ruang terbuka hijau kurang dari 10 %, padahal ketentuan UU. No 26 tahun 2007
tentang penataan ruang (UUPR) yang mewajibkan pengelola perkotaan menyediakan
ruang terbuka hijau publik sebesar 20 % dari luas kota tersebut(Farisanto, 2012). Masalah yang dihadapi
pemerintah dalam tuntutan UUPR tersebut adalah karena ruang terbuka hijau dianggap
memiliki nilai ekonomis yang rendah sehingga menghambat perkembangan kota
tersebut. Ketika kota tersebut tidak mencukupi dalam penyelenggaraan ruang
terbuka hijau, maka kota tersebut dapat mengalami beberapa masalah, diantaranya
menurunkan kenyamanan kota tersebut, menurunkan keindahan alami kota dan
artifak alami sejarah yang bernilai kultural tinggi, dan lain sebagainya(IPB, 2011).
Penghambat penyelenggaraan ruang terbuka hijau terdapat
beberapa, diantaranya yang pertama, lemahnya lembaga pengelola ruang terbuka
hijau. Ditandai dengan aturan hukum yang belum jelas, belum optimalnya
penegakan aturan main pengelolaan ruang terbuka hijau, belum jelasnya bentuk
kelembagaan pengelola ruang terbuka hijau, dan belum terdapatnya tata kerja
pengelolaan ruang terbuka hijau(IPB, 2011).
Kedua, lemahnya peran stake
holder. Hal itu ditunjukkan lemahnya persepsi masyarakat. Ditambah dengan
lemahnya pegertian masyarakat dan pemerintah tentang manfaat ruang terbuka
hijau(IPB, 2011). Hal tersebut menyebabkan kurangnya pemanfaatan
lahan terbuka sebagai ruang terbuka hijau.
Agar penyelenggaraan ruang terbuka hijau tidak semakin
berkurang, dibutuhkan langkah nyata untuk menanggulanginya. Yang pertama
dengan memperbaiki lembaga yang
bertanggung jawab tentang ruang terbuka publik dengan cara memperjelas dan
mempertegas aturan hukum tentang UUPR (Undang-undag Penataan Ruang), setelah
dibuat kemudian aturan tersebut harus dapat ditegakkan oleh lembaga pengelola
ruang terbuka hijau. Lalu pembenahan tentang keterlibatan peran stakeholder yang ikut menjaga dan
melestarikan ruang terbuka hijau dengan cara sosialisasi tentang pemahaman
pentingnya ruang terbuka hijau bagi masyarakat dan lingkungan. Dengan semua itu
diharapkan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan terutama kota besar di
Indonesia dapat memenuhi UU no.26 tahun 2007 tentang UUPR yaitu ruang terbuka
hijau 20% dari wilayah kota tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Langganan:
Komentar (Atom)

